Jumat, 24 April 2009

Mokoloa, apakah ritual atau sebuah seni?

Peringatan, sebaiknya membaca artikel ini jangan sambil makan karena sebagian orang merasa tidak nyaman dengan tulisan ini yang mencerterakan budaya sadisme masa lalu.

Dimasa sekarang ketika suntuk, kita bisa saja mencari hiburan sesuai selera kita diluar sana, café, karaoke, diskotik atau sekedar ngabuburit sambil cuci mata bisa jadi pilihannya. Tapi bisa dibayangkan bagaimana orang-orang yang hidup pada abad 10 ketika suntuk? Mungkin salah satu cara waktu itu ialah dengan Mokola. Mokoloa ini dikenal diwilayah lembah Palu, lembah Napu (Kabupaten Poso, Prov. Sulawesi tengah), Kulawi (Kabupaten Sigi Biromaru Prov. Sulawesi Tengah) maupun Pipikoro (Kabupaten Donggala, Prov. Sulawesi Tengah).

Mokoloa merupakan ritual pengorbanan manusia dengan cara disembelih, disayat ataupun langsung dibunuh dengan menggunakan tombak. Kegiatan menyembelih, menyayat ataupun langsung dibunuh dengan menggunakan tombak tersebut dinamakan Mehaha atau Nesasa. Terdapat beberapa konsep tentang ritual mokola itu sendiri, ada yang berpendapat bahwa mokoloa diadakan sebagai bentuk terima kasih masyarakat kepada sang penguasa ketika itu (hal gaib) sebagai mohon restu dalam pembangunan sebuah Lobo (balai pertemuan warga)pendapat lain bahwa Mokoloa adalah sebuah selebrasi ketika telah memenangkan sebuah peperangan, ada pendapat yang mengatakan bahwa mokoloa merupakan sebuah ritual sebelum melakukan peperangan, pendapat lain yang lebih sexy yaitu mokoloa dilakukan sebagai bentuk pesta kerajaan tanpa maksud tertentu, semata-mata hanya dilakukan sebagai hiburan. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah, siapakah yang menjadi korban pada ritual tersebut? Ada banyak versi juga tentang siapa yang dikorbankan pada ritual mokoloa ini. Kebanyakan sumber mengatakan bahwa yang dijadikan korban ialah tawanan perang atau orang yang melakukan kejahatan dalam sebuah kerajaan, ada yang berpendapat bahwa korban merupakan upeti dari kerajaan lain, pendapat lain mengatakan yang menjadi kornban ialah Batua (budak), pemberian Batua ketika itu dilaksanakan oleh bangsawan yang mempunyai budak secara bergiliran, misalnya bulan ini bangsawan A memberikan seorang Batua sebagai sebagai orang yang kemudian dikorbankan pada ritual Mokola, bulan berikutnya giliran bangsawan B yang memberikan Batua dan seterusnya.

Dari beberapa tempat yang telah disebutkan diatas bahwa ritual tersebut dilakukan dengan cara yang berbeda pula. Mokola yang dilakukan di lembah Palu misalnya, korban diikat ditiang yang mana tiang tersebut adalah tempat tiang yang akan dibangun sebuah Lobo, ketika korban telah diikatkan kemudian korban langsung dibunuh dengan menggunakan sebuah tombak, yang menjadi eksekutor pada ritual ini ialah keluarga kerajaan, Towalia(pemangku adat atau dukun) maupun bangsawan yang ditunjuk oleh kerajaan. Mokoloa seperti ini juga dilakukan di wilayah Napu. Ada beberapa versi juga tentang Mokoloa yang dilakukan diwilayah Kulawi, versi yang saya temukan ialah Mokoloa dilakukan di hadapan keluarga kerajaan maupun bangsawan pada sebuah jamuan makan malam, prosesnya ialah korban diikatkan ditiang dihadapan keluarga kerajaan dan bangsawan tersebut, setelah itu secara bersama-sama keluarga kerajaan dan bangsawan tersebut menyanyikan irama Mokoloa secara bergiliran, dimana nyanyian itu berakhir maka orang tersebut yang mempunyai hak untuk melakukan sayatan pada tubuh korban, setelah melakukan sekali sayatan maka nyanyian dilanjutkan kembali dan dimana nyanyian tersebut berakhir maka kembali giliran orang tersebut yang melakukan sayatan pada tubuh korban, begitu seterusnya hingga korban tersebut meninggal dunia. Mokola yang dilakukan di wilayah Pipikoro lain lagi, ritual ini dilakukan sebelum melakukan peperangan, caranya korban diikatkan pada salah satu tiang Lobo kemudian pimpinan ritual langsung membunuh korban tersebut dengan menggunakan tombak disaksikan oleh prajurit yang telah siap untuk berperang. Tidak sampai disitu saja, setelah meninggal, pimpinan menyanyika lagu ritual mokola tersebut yang artinya adalah “darah korban telah mengalir, mari kita kuliti kepalanya dan semua prajurit yang pergi berperang harus dapat” kemudian korban tersebut dikuliti kulit kepalanya dan dibagikan bagi prajurit yang akan pergi berperang untuk dijadikan gane-gane (mantra agar prajurit berani dalam melakukan peperangan).

Ketika Belanda masuk, ritual ini sedikit demi sedikit dihilangkan dengan alasan kemanusiaan, korban yang sebelumnya adalah manusia dirubah oleh pemerintah belanda ketika itu dengan batang pohon pisang, mungkin karena batang pohon pisang tersebut tidak mengeluarkan suara ketikan akan dibunuh maka secara perlahan-lahan pula ritual ini ditinggalkan oleh masyarakat.

Tulisan ini merupakan hasil wawancara dari beberapa pemangku adat yang masih mengetahui tentang ritual tersebut. Terima kasih untuk Robert Weber yang telah memberikan waktu kepada saya dalam melakukan eksplorasi dalam penelitiannya.

Rabu, 22 April 2009

Gumangkoana

Ribuan tahun lalu Lembah napu yang berada di Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah ini menurut legenda yang diriwayatkan merupakan sebuah danau yang bernama Rano Raba pada saat itu ada dua etnis besar yang mendiami lembah itu yaitu Winua ynag berdiam disebelah timur dan Huku di sebelah barat. Di sekeliling danau juga terdapat etnis-etnis kecil seperti Urana, Beau, Malibubu, Wawowula, Kapa, Beloka dan Petingkia. Pada saat itu belum terdapa kerajaan diwilayah ini, masyarakat yang bermukim disekitar Rano Raba dengan alasan yang tidak jelas menginginkan danau tersebut dikeringkan. Seluruh Towalia (perantara dengan yang berhubungan dengan gaib) berkumpul untuk meminta jawaban dari sang gaib karena pada saat itu kepercayaan masyarakat sekitar danau adalah Animisme yang telah percaya bahwa ada sebuah kekuatan gaib yang melebihi batu, pohon dan lain sebagainya. Towalia mendapatkan jawaban dari sang gaib tersebut bahwa mereka bias mengeringkan danau dengan syarat berjalan mengelilingi danau sebanyak tujuh kali dan melakukan Modondi (pesta rakyat ketika itu) di setiap desa yang mereka jumpai. Setelah mengellilingi danau sebanyak tujuh kali mereka menancapkan Pehungki (seperti sekop) yang terbuat dari emas untuk mulai membuat saluran air untuk mengeringkan air yang berada di danau tersebut.

Setelah kurang lebih seratus tahun kemudian danau tersebut menjadi kering dan mengakibatkan daerah sebelah barat menjadi hutan dan sebelah selatan menjadi padang ilalang. Sebagian masyarakat Winua turun dan bermukim di Kalide dan Lengaro. Masyarakat Huku turun dan bermukim di Lengaro Pembangu dan Peore. Pada saat itu masyarakat tersebut belum mengenal cara bercocok tanam, kebutuhan sehari-hari hanya dilakukan dengan cara berburu dan memakan hasil hutan lainnya.

Pada kurang lebih abad ke sepuluh Tomanuru (orang suci yang dianggap turun dari langit) datang dan tinggal menetap di Kalide dan menikah disana. Tomanuru dikenal sangat sakti dan telah mempunyai pengetahuan bercocok tanam seperti sawah serta membuat alat pertanian dan alat-alat perang lainnya. Dari hasil pernikahan tersebut, Tomanuru dikarunai tujuh orang anak, enam laki-laki dan satu orang perempuan. Anak-anaknya tersebut kemudian diberikan nama:

1. Tindarura yang kemudian dikenal sebagai Gumangkoana (disebut demikan karena meletakan guma=parang tradisional di pinggang sebelah kanan) yang menempati wilayah Napu.

2. Madusila yang kemudian bermukim di Gowa Sulawesi Selatan.

3. Ralinu yang kemudian bermukim di daerah Lindu/Parigi

4. Madika Mpudu yang bermukim di Uwentira (sebuah daerah yang dikenal sebagai tempat tinggal pada Jin)

5. Pua yang bermukim di Manado Sulawesi Utara

6. Rabuho yang berdiam diri di Luwu (Palopo, Sulawesi Selatan)

7. Rampalili yang kemudian bermukim di Bada (Sekarang Kecamatan Lore Selatan, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah)

Satu-satunya yang mewarisi keahlian Tomanuru seperti bertani, membuat alat pertanian dan alat perang ialah Gumangkoana. Masyarakat ketika itu sangat senang padanya, banyak pemuda di lembah ini belajar berperang darinya. Para bangsawan kemudian memilihnya menjadi Tadulako (panglima perang).

Asal Nama Pekurehua (Lembah Napu)

Ketika Gumangkoana pergi ke hutan untuk berburu, anjingnya menangkap seekor babi, kemudian Gumangkoana memerintahkan pengikutnya untuk menebang beberapa pohon kecil untuk mengangkut babi tersebut. Ketika pengikutnya menebang kayu terdengarlah suara burung yang belum pernah terdengar oleh Gumangkoana sebelumnya, kemudian Gumangkoana bertanya nama jenis burung tersebut, kemudian salah satu penebang kayu tersebut menjawab bahwa nama burung tersebut ialah Kureu. Pada saat itu juga Gumangkoana berkata, mulai saat ini lembah ini ku beri nama Pekurehua. Tapi ada dua pendapat tentang cerita ini, pendapat lain mengatakan bahwa anjing Gumangkoana menangkap burung Kureu (tapi sangat aneh, bagaimana bisa seekor anjing manangkap burung yang sedang terbang).

Setelah dana Raba mengering yang kemudian menjadi lembah, tidak ada nama untuk lembah tersebut, Gumangkoana hanya tau bahwa lembah tersebut sebelumnya adalah danau Raba. Setelah pemberian nama Pekurehua tersebut, masyarakat mulai membangun pemukiman disana serta membuat sawah untuk pertanian. Sebagian dari mereka pindah ke Habingka dan setelah populasi Habingka menjadi lebih padat, mereka kembali pindah ke Gaa.

Pada saat itu Gumangkoana menjadi pemimpin di dataran Pekurehua. Dan pada saat itu hanya ada satu perayaan tiap tahunnya yaitu Mangore (upacara setelah panen) Gumangkoana mengundang seluruh masyarakat Napu untuk menghadiri dan merayakan acara tersebut. Gumangkoana memilih Lamba sebagai tempat pertemuan dan mendirikan Duhunga.

Ketika pesta rakyat Mangore dilakukan makan bersama. Pada saat makan bersama tersebut seluruh masyarakat menggunakan daun sebagai alas makanannya, dan setelah selesai makan bersama, daun bekas alas makanan tersebut tidak dibuang di sembarang tempat, tetapi dikumpulkan di satu tempat yang telah ditentukan. Setelah sekian lamanya perayaan tersebut daun yang telah dikumpulkan tadi menjadi satu bukit yang kemudian dinamakan bukit Pekurehua .

Pada saat perayaan Mangore mereka juga melakukan kesenian Modoni dan Morego dan beberapa pertandingan ketangkasan beladiri dengan menggunakan tombak dan perisai (semacam gladiator) tapi tidak melakukannya sampai mati, permainan ketangkasan yang lainnya ialah Motintilo. Permainan ini dilakukan secara beregu, cara memainkannya ialah, kedua regu berberdiri berhadapan. Yang diperlukan untuk melakukan permainan ini ialah tombak dan roda yang terbuat dari rotan atau kayu yang berdiameter kurang lebih 35 cm ketika itu.

Cara bermainnya ialah, regu pertama menggelindingkan roda ke arah lawan dengan sekencang-kencangnya, kemudian lawan harus bisa memasukan tombak tersebut kedalam roda tersebut. Apabila salahsatu regu tidak dapat memasukan tombak ke dalam roda tersebut maka regu tersebut dinyatakan kalah (hmmmm.. menarik juga)

Pada saat melakukan Morego (tarian melingkar) pada perayaan Mongore tersebut, perempuan melepaskan ikat kepala yang kemudian membiarkan rambut panjangnya terurai untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan, walaupun pada saat itu laki-laki juga mempunyai rambut yang panjang. Perempuan melilitkan ikat kepala mereka pada bambu yang biasa di sebut Bolo Batu, kadang-kadang bamboo tersebut jatuh tidak sanggup menahan beban karena terlalu banyak ikat kepala yang digantungkan. Hal ini menandakan betapa banyaknya orang yang hadir pada perayaan Mangore tersebut.

Seiring dengan waktu, Gumangkoana menjadi tua dan menjelang ajalnya, Gumangkoana berpesan kepada rakyatnya untuk tidak menguburkan jenazahnya, tetapi meletakkan peti matinya dibawah Duhunga dan menempatkan beberapa orang perempuan untuk menjaga dan meratapinya disekeliling Duhunga. Gumangkoana berpesan kepada masyarakatnya untuk membangunkannya dari peti matinya jika prajuritnya tidak sanggup berperang menghalau musuh yaitu denga cara melemparkan telur kearah peti matinya. Pada akhir abad ke 12 bangsa Tomene datang menyerang Pekurehua. Ada banyak asumsi tentang siapa sebenarnya bangsa Tomene ini, ada yang mengatakan bahwa bangsa Tomene ialah Kubilai Khan atau bangsa Portugis yang masuk melalui Mindanau Filipina. Banyak dari rakyat Pekurehua yang berada di sebelah utara mati terbunuh oleh bangsa Tomene tersebut, pasukan Pekurehua hampir kalah terhadap invasi tersebut. Karena terdesak, prajurit Pekurehua membangunkan Gumangkoana untuk mengatasi masalah tersebut karena mereka tidak mampu menahan gempuran yang dilakukan oleh bangsa Tomene. Mereka membangunkan Gumangkoana dengan cara melemparkan telur kearah peti mati Gumangkoana seperti yang telah dipesankan. Gumangkoana terbangun dari peti matinya dan berkata apa yang terjadi, kemudian prajuritnya menceritrakan apa yang telah terjadi. Setelah mendengarkan penjelasan tersebut, Gumangkoana berkata, “baik saya akan membantu kalian untuk menghalau dan menghancurkan musuhmu, tetapi daengan syarat hancurkan peti mati saya ketika saya telah pergi berperang” pada saat itu juga Gumangkoana pergi ke medan pertempuran untuk menghalau pasukan Tomene di sebuah daerah yang dinamakan Pototowa yang berarti tempat memenggal leher. Dinamakan Pototowa karena tempat tersebut dijadikan Gumangkoana sebagai tempat menangkap dan memenggal kepala setiap pasukan Tomene. Setelah situasi tersebut mampu dikembalikan, Gumangkoana kembali ke Pekurehua, tetapi betapa kecewanya Gumangkoana bahwa pesan yang diamanatkan untuk menghancurkan peti matinya tidak dilakukan oleh prajuritnya, kemudian Gumangkoana berkata “karena kalian tidak menuruti permintaanku untuk menghancurkan peti matiku, maka saya tidak akan bisa membantu kalian lagi apabila terjadi serangan lagi ke Pekurehua, dan saya akan kembali dalam tidur panjangku dan tidak bisa dipanggil lagi”, kemudian Gumangkoana kembali berjalan memasuki peti matinya untuk kembali beristirahat untuk selama-lamanya. Dulu Pototowa adalah sebuah kayu yang dinamakan Pepolo, tapi seiringnya waktu Pototowa telah berubah menjadi batu dan batu tersebut telah tertimbun tanah ketika pemerintah membuat jalan menuju lembah Napu.

Setelah masuknya bangsa Belanda ke daerah Napu, maka dengan sendirinya Howa dan Duhunga hilang dengan sendirinya. Beberapa hipotesa mengatakan pemerintah Belanda ketika itu sengaja merobohkan Howa dan Duhunga karena berhubungan kepercayaan animisme yang ketika itu dijadikan sebagai tempat pemujaan berhala kepada Anitu (sesauatu yang bersifat gaib seperti Tuhan, Roh, Jin dan Setan) dan sebagai langkah pemerintah Berlanda untuk memecah persatuan raja-raja yang selalu dilakukan di Duhunga. Albert C. Kruijt dalam bukunya yang berjudul De Berglanschappen Napoe en Besoa in Midden Celebes atau The Mountain District Napu and Besoa in Sentral Sulawesi juga menuliskan tentang cerita diatas. Tijdsjhrift Van Het Aardkigkskundig Genooksjhap (2nd series 1908) page 1271 – 1344, Kruijt juga menjelaskan dalam buku tersebut bahwa pada ketika itu orang-orang yang menjadi pendeta ialah orang-orang yang tidak mau ikut berperang. Dalam bukunya, Albert C. Kruijt menulis bahwa jalan dari Napu menuju Sigi (Kabupaten Sigi Biromaru, Provinsi Sulawesi tengah) adalah salah satu jalan tertua yang pernah ada, dalam bukunya juga menceritrakan kebangkitan Gumangkoana. Cerita yang saya dapatkan dari bapak H. Tebo yang merupakan orang tua adat di desa Wuasa Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso Sulawesi Tengah pada tahun 2002 mengatakan, sebelum pergi berperang, Gumangkoana berpesan kepada masyarakatnya untuk menghancurkan peti matinya, namun Albert C. Kruijt dalam bukunya menulis, berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan masyrakat Napu ketika itu (1908) dikatakan bahwa sebelum Gumangkoana berangkat berperang, dia memerintahkan untuk menggulung tikar yang dipakai untuk membaringkannya dalam peti matinya, namun masyarakatnya lupa untuk menggulung kembali tikarnya sehingga Gumangkoana tidak bisa kembali lagi dan istirahat untuk selama-lamanya.

Empat macam balai pertemuan Tonapu

  1. Howa : Tempat berkumpulnya para Towalia untuk melakukan ritual termasuk memanggil arwah dan sebagai tempat untuk melakukan ritual animisme lainnya
  2. Duhunga : Tempat berkumpulnya para bangsawan dan raja-raja untuk memutuskan suatu perkara, dan sekaligus sebagai tempat melaksanakan upacara Mokoloa, akan tetapi pembunuhan tidak dilakukan didalam Duhunga, melainkan dihalaman Duhunga. Tempat ini juga sebagai tempat perayaan kesenian tradisional ketika itu.
  3. Bantaya : Balai pertemuan ditingkat kecamatan dan sebagai tempat perayaan hari besar nasional
  4. Baruga : Balai pertemuan di tingkat desa dan sebagai tempat perayaan di desa.
Bantaya dan Baruga dibuat setelah belanda masuk, Pemerintah Belanda ketika itu merusak Howa karena untuk menghilangkan kepercayaan animisme masyarakat yang ketika itu sangat kuat, dan Duhunga karena sebagai strategi belanda untuk memecah persatuan, mengingat Duhunga sebagai tempat bertemunya raja-raja dan para bangsawan